Daftar Blog Saya

Translate

KENANGAN INDAH MASJID NABAWI

Saat di Depan Baabussalam Masjid Nabawi Madinah

DIDEPAN MAKTAB 550 SAUKIYAH

Kenangan bersama Syeh Abu, Mashur, Musa, Adam dan Muhammad Ali

INDAHNYA MASJIDIL HARAM MAKKAH

Ya Allah, Ya Rohman Ya Rokhim Panggillah aku lagi ke Rumahmu, Baitullah,

SAAT DI DEPAN PINTU MASJIDIL HARAM

Masjidil Haram, Masjid Utama Umat Islam yang memberikan pahala yang sangat besar ketika seseorang sholat jamaah di Dalamnya

DI DEPAN KABAH

Saat menyelesaikan thowaf mengelilingi kabah dan Betapa indah dan mengagumkan ketika melihat kiblat umat Islam seluruh Dunia yaituu kabah

Sabtu, 02 Agustus 2008

PBB dan Masyumi

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

PARTAI Bulan Bintang atau PBB mulai hari ini, 28 April, hingga 1 Mei 2005 menyelenggarakan muktamar kedua. Jika sebelumnya Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa lebih banyak menghadapi persoalan regenerasi dalam sirkulasi elite partai, PBB menghadapi masalah lebih kompleks.

Partai ini bukan hanya harus lebih berhati-hati dalam menentukan figur pemimpinnya, tetapi juga lebih serius menentukan strategi, orientasi, bahkan ideologi partai ke depan. Pasalnya, dengan komposisi suara hanya 2,62 persen (2.970.487 suara) dalam pemilu parlemen lalu, partai ini tidak mencukupi batas electoral threshold.

Persoalan ini amat ironis karena pada Pemilu 1999 lalu PBB menjadi satu dari enam partai besar yang patut diperhitungkan dalam jagat politik nasional. Kebesaran partai ini ditopang oleh modal sejarahnya sebagai pewaris politik Masyumi, partai Islam terbesar di masa demokrasi liberal.

Yusril Ihza Mahendra, ketua partai, selalu membanggakan partai ini sebagai "partai yang memiliki akar sejarah panjang sejak awal kemerdekaan" (Ensiklopedi Tokoh Indonesia, 2005). Embrio PBB berasal dari organisasi bernama Keluarga Bulan Bintang yang dibikin oleh kelompok eks Masyumi.

PBB memiliki figur dan citra ideologi yang mengingatkan orang akan kebesaran Masyumi di masa lalu. Yusril dikenal sebagai intelektual yang secara personal dekat dan paling apresiatif terhadap ide-ide Natsir. Sosok Yusril yang cerdas, lugas, dan akademis mengingatkan orang akan karakter para intelektual-politisi Islam modernis di Masyumi dulu. Herbert Feith (1957) menyebut mereka sebagai bagian kelompok "administrator pemecah masalah". Kampanye-kampanye PBB tentang penerapan syariat Islam dan Piagam Jakarta pada Pemilu 1999 mengingatkan orang akan perjuangan Masyumi dalam sidang-sidang BPUPKI, PPKI, dan Konstituante.

Sayang, PBB berhenti di situ dan cenderung fundamentalistik dengan citra Masyumi-nya tanpa melakukan kontekstualisasi lebih jauh. PBB hanya mewarisi simbol, citra, dan ideologi yang dalam politik bersifat amat labil. PBB tidak mewarisi spirit, vitalitas, dan basis pendukung Masyumi sendiri. Dari dukungan, anggota penopang utama Masyumi, misalnya Muhammadiyah, telah memiliki PAN sebagai saluran politiknya. Mengikuti logika keanggotaan dalam Masyumi, PBB secara resmi tidak memiliki pengakuan dari organisasi-organisasi Islam yang semula adalah tulang punggung Masyumi.

DALAM sejarahnya, Masyumi tampil sebagai partai besar penuh vitalitas. Ia telah mengatasi masalah ideologis terbesarnya dengan keluarnya NU tahun 1952. Selanjutnya, pertentangan antara kelompok Sukiman dan Natsir sepenuhnya bersifat pragmatis dan strategis. Kedekatan Sukiman dengan PNI dan Natsir dengan PSI secara tidak langsung menjadi kepanjangan tangan pengaruh partai di sayap kanan dan kiri politik nasional.

Sebagai partai administrator, berbagai program dan kebijakan strategis partai ini telah mewarnai dan menentukan arah perjalanan negara. Di bawah PM Sukiman (1951-1952), misalnya, RI melalui penandatanganan suatu perjanjian di bawah Undang-Undang MSA (Mutual Security Act) pernah membuat langkah berani dengan menegaskan posisinya ada pada blok Barat (Amerika Serikat) dalam kancah pergaulan internasional.

Mendagri Mohammad Roem adalah konseptor utama UU Pemilu pertama yang mulai dirumuskan pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953). Masyumi juga yang pertama mengusulkan dan menggodok RUU Anti- Korupsi pada di masa Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet (1955-1956).

Dinamika yang terjadi dalam Masyumi itu menyatakan, Masyumi bukan partai yang univokal, yang hanya identik dengan Piagam Jakarta, atau syariat Islam, atau Islam sendiri. Pada era liberal, Masyumi kian mengukuhkan diri sebagai partai modern yang bergaul erat dengan orang-orang sosialis.

PBB mewarisi suatu kondisi psikologis saat Masyumi telah menjadi radikal karena melihat kecenderungan presiden yang kian otoriter. Radikalisme yang juga disokong partai kiri moderat, PSI, yang telah lama menjadi rekan koalisinya. Dalam sejarahnya, radikalisme itu tertuang dalam pemberontakan PRRI pada paruh akhir dekade 1950-an. Sebuah gerakan yang menjadi alasan bagi Soekarno untuk membubarkan dua partai modernis itu. Radikalisme itu kian mengkristal saat upaya rehabilitasi partai di masa Orba ditentang penguasa.

Dalam kondisi seperti itulah PBB menahbiskan diri sebagai pewaris Masyumi, yakni Masyumi yang radikal, emosional, dan penuh romantisme. Hal itu tercermin dalam figur Natsir dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam proyek DDII-nya, Natsir tua yang radikal memilih jalur nonpolitis. Tetapi, ia menanamkan semangat Islam modernis yang idealis sekaligus militan.

JIKA mencermati kondisi PBB saat ini, tampak partai itu tidak bergeser jauh dari perspektif Masyumi tua. Kampanye-kampanye konservatif syariat Islam dan Piagam Jakarta menjadi jargon politik yang diperdagangkan. Namun, PBB secara fundamentalistik juga melembagakan terma islamic modernism dalam sifat ideologi partainya.

PBB tampaknya masih ingin melestarikan suatu persepsi sejarah yang membagi Masyumi dalam kelompok moderat dan kelompok radikal, yakni kelompok intelektual ala Natsir dan kelompok ulama konservatif ala Isa Anshari di masa lalu. Di satu sisi, mereka masih ingin mengukuhkan diri sebagai partainya intelektual yang akademis dan moderat.

Partai ini sebelum pemilu termasuk di antara sedikit parpol yang gemar melontarkan wacana politik. Di antaranya, mengusulkan sistem distrik dalam pemilu dan perubahan UUD 1945 melalui amandemen konstitusi. Selain itu, PBB melemparkan isu jumlah ideal provinsi di Indonesia 40 buah dengan empat daerah istimewa.

Di sisi lain, aneka pandangan konservatif-fundamentalis dalam agama, seperti yang dibawa tokoh-tokoh radikalnya, juga dilembagakan. Ahmad Sumargono, bekas pengurus partai, misalnya, dengan kelompok KISDI-nya aktif menyuarakan pembelaan-pembelaan atas nama umat Islam. Ia mengingatkan orang akan Isa Anshari dengan gerakan radikal Front Anti Komunis pada tahun 1954.

Dikotomi ini membuat PBB mengalami disorientasi. Modernismenya yang tampak elitis tentu tidak populer di masyarakat Islam tradisional yang tidak memerlukan treatment ide. Suatu masyarakat yang hanya bisa didekati dengan keteladanan moral dan treatment praktis. Sesuatu yang dengan baik telah diperagakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), rivalnya sesama partai Islam modernis.

Sayap radikalnya juga mengecewakan beberapa kalangan yang berharap partai ini akan meneruskan semangat Masyumi sebagai partainya kaum administrator pemecah masalah. Kalaupun ada dikotomi, itu adalah dikotomi kelompok Natsir-Sukiman, seperti disebut di atas. Dalam berbagai kesempatan, Yusril menolak model dikotomik terakhir ini.

Namun, apa pun alasannya, ke depan PBB harus mampu keluar dari kubangan citra Masyumi. Hasil pemilu legislatif 2004 menunjukkan, citra Masyumi, lebih-lebih ideologisasi terhadapnya, tidak lagi laku dalam masyarakat politik yang kian rasional dan mulai tercairkan secara ideologis. Proses- proses politik juga telah menjadikan masyarakat Islam semakin pragmatis.

Aneka gagasan abstrak, ideal, dan kurang membumi tidak akan menyentuh kepekaan politik masyarakat Islam. Jika ingin menyadarkan mereka mengenai idealisme itu, partai politik harus memulainya dari download.

SEJARAH ISLAM INDONESIA

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13.

Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai.Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara.

Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi. Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara. Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam. Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang digelar pada tahun 1978. Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada periode inilah Islam telah memegang peranan yang signifikan dalam sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh
dan kilafah Islam di Arab kian erat.Selain pada pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak, Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon. Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan. Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam.n