Daftar Blog Saya

Translate

Sabtu, 02 Agustus 2008

PBB dan Masyumi

PARTAI Bulan Bintang atau PBB mulai hari ini, 28 April, hingga 1 Mei 2005 menyelenggarakan muktamar kedua. Jika sebelumnya Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa lebih banyak menghadapi persoalan regenerasi dalam sirkulasi elite partai, PBB menghadapi masalah lebih kompleks.

Partai ini bukan hanya harus lebih berhati-hati dalam menentukan figur pemimpinnya, tetapi juga lebih serius menentukan strategi, orientasi, bahkan ideologi partai ke depan. Pasalnya, dengan komposisi suara hanya 2,62 persen (2.970.487 suara) dalam pemilu parlemen lalu, partai ini tidak mencukupi batas electoral threshold.

Persoalan ini amat ironis karena pada Pemilu 1999 lalu PBB menjadi satu dari enam partai besar yang patut diperhitungkan dalam jagat politik nasional. Kebesaran partai ini ditopang oleh modal sejarahnya sebagai pewaris politik Masyumi, partai Islam terbesar di masa demokrasi liberal.

Yusril Ihza Mahendra, ketua partai, selalu membanggakan partai ini sebagai "partai yang memiliki akar sejarah panjang sejak awal kemerdekaan" (Ensiklopedi Tokoh Indonesia, 2005). Embrio PBB berasal dari organisasi bernama Keluarga Bulan Bintang yang dibikin oleh kelompok eks Masyumi.

PBB memiliki figur dan citra ideologi yang mengingatkan orang akan kebesaran Masyumi di masa lalu. Yusril dikenal sebagai intelektual yang secara personal dekat dan paling apresiatif terhadap ide-ide Natsir. Sosok Yusril yang cerdas, lugas, dan akademis mengingatkan orang akan karakter para intelektual-politisi Islam modernis di Masyumi dulu. Herbert Feith (1957) menyebut mereka sebagai bagian kelompok "administrator pemecah masalah". Kampanye-kampanye PBB tentang penerapan syariat Islam dan Piagam Jakarta pada Pemilu 1999 mengingatkan orang akan perjuangan Masyumi dalam sidang-sidang BPUPKI, PPKI, dan Konstituante.

Sayang, PBB berhenti di situ dan cenderung fundamentalistik dengan citra Masyumi-nya tanpa melakukan kontekstualisasi lebih jauh. PBB hanya mewarisi simbol, citra, dan ideologi yang dalam politik bersifat amat labil. PBB tidak mewarisi spirit, vitalitas, dan basis pendukung Masyumi sendiri. Dari dukungan, anggota penopang utama Masyumi, misalnya Muhammadiyah, telah memiliki PAN sebagai saluran politiknya. Mengikuti logika keanggotaan dalam Masyumi, PBB secara resmi tidak memiliki pengakuan dari organisasi-organisasi Islam yang semula adalah tulang punggung Masyumi.

DALAM sejarahnya, Masyumi tampil sebagai partai besar penuh vitalitas. Ia telah mengatasi masalah ideologis terbesarnya dengan keluarnya NU tahun 1952. Selanjutnya, pertentangan antara kelompok Sukiman dan Natsir sepenuhnya bersifat pragmatis dan strategis. Kedekatan Sukiman dengan PNI dan Natsir dengan PSI secara tidak langsung menjadi kepanjangan tangan pengaruh partai di sayap kanan dan kiri politik nasional.

Sebagai partai administrator, berbagai program dan kebijakan strategis partai ini telah mewarnai dan menentukan arah perjalanan negara. Di bawah PM Sukiman (1951-1952), misalnya, RI melalui penandatanganan suatu perjanjian di bawah Undang-Undang MSA (Mutual Security Act) pernah membuat langkah berani dengan menegaskan posisinya ada pada blok Barat (Amerika Serikat) dalam kancah pergaulan internasional.

Mendagri Mohammad Roem adalah konseptor utama UU Pemilu pertama yang mulai dirumuskan pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953). Masyumi juga yang pertama mengusulkan dan menggodok RUU Anti- Korupsi pada di masa Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet (1955-1956).

Dinamika yang terjadi dalam Masyumi itu menyatakan, Masyumi bukan partai yang univokal, yang hanya identik dengan Piagam Jakarta, atau syariat Islam, atau Islam sendiri. Pada era liberal, Masyumi kian mengukuhkan diri sebagai partai modern yang bergaul erat dengan orang-orang sosialis.

PBB mewarisi suatu kondisi psikologis saat Masyumi telah menjadi radikal karena melihat kecenderungan presiden yang kian otoriter. Radikalisme yang juga disokong partai kiri moderat, PSI, yang telah lama menjadi rekan koalisinya. Dalam sejarahnya, radikalisme itu tertuang dalam pemberontakan PRRI pada paruh akhir dekade 1950-an. Sebuah gerakan yang menjadi alasan bagi Soekarno untuk membubarkan dua partai modernis itu. Radikalisme itu kian mengkristal saat upaya rehabilitasi partai di masa Orba ditentang penguasa.

Dalam kondisi seperti itulah PBB menahbiskan diri sebagai pewaris Masyumi, yakni Masyumi yang radikal, emosional, dan penuh romantisme. Hal itu tercermin dalam figur Natsir dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam proyek DDII-nya, Natsir tua yang radikal memilih jalur nonpolitis. Tetapi, ia menanamkan semangat Islam modernis yang idealis sekaligus militan.

JIKA mencermati kondisi PBB saat ini, tampak partai itu tidak bergeser jauh dari perspektif Masyumi tua. Kampanye-kampanye konservatif syariat Islam dan Piagam Jakarta menjadi jargon politik yang diperdagangkan. Namun, PBB secara fundamentalistik juga melembagakan terma islamic modernism dalam sifat ideologi partainya.

PBB tampaknya masih ingin melestarikan suatu persepsi sejarah yang membagi Masyumi dalam kelompok moderat dan kelompok radikal, yakni kelompok intelektual ala Natsir dan kelompok ulama konservatif ala Isa Anshari di masa lalu. Di satu sisi, mereka masih ingin mengukuhkan diri sebagai partainya intelektual yang akademis dan moderat.

Partai ini sebelum pemilu termasuk di antara sedikit parpol yang gemar melontarkan wacana politik. Di antaranya, mengusulkan sistem distrik dalam pemilu dan perubahan UUD 1945 melalui amandemen konstitusi. Selain itu, PBB melemparkan isu jumlah ideal provinsi di Indonesia 40 buah dengan empat daerah istimewa.

Di sisi lain, aneka pandangan konservatif-fundamentalis dalam agama, seperti yang dibawa tokoh-tokoh radikalnya, juga dilembagakan. Ahmad Sumargono, bekas pengurus partai, misalnya, dengan kelompok KISDI-nya aktif menyuarakan pembelaan-pembelaan atas nama umat Islam. Ia mengingatkan orang akan Isa Anshari dengan gerakan radikal Front Anti Komunis pada tahun 1954.

Dikotomi ini membuat PBB mengalami disorientasi. Modernismenya yang tampak elitis tentu tidak populer di masyarakat Islam tradisional yang tidak memerlukan treatment ide. Suatu masyarakat yang hanya bisa didekati dengan keteladanan moral dan treatment praktis. Sesuatu yang dengan baik telah diperagakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), rivalnya sesama partai Islam modernis.

Sayap radikalnya juga mengecewakan beberapa kalangan yang berharap partai ini akan meneruskan semangat Masyumi sebagai partainya kaum administrator pemecah masalah. Kalaupun ada dikotomi, itu adalah dikotomi kelompok Natsir-Sukiman, seperti disebut di atas. Dalam berbagai kesempatan, Yusril menolak model dikotomik terakhir ini.

Namun, apa pun alasannya, ke depan PBB harus mampu keluar dari kubangan citra Masyumi. Hasil pemilu legislatif 2004 menunjukkan, citra Masyumi, lebih-lebih ideologisasi terhadapnya, tidak lagi laku dalam masyarakat politik yang kian rasional dan mulai tercairkan secara ideologis. Proses- proses politik juga telah menjadikan masyarakat Islam semakin pragmatis.

Aneka gagasan abstrak, ideal, dan kurang membumi tidak akan menyentuh kepekaan politik masyarakat Islam. Jika ingin menyadarkan mereka mengenai idealisme itu, partai politik harus memulainya dari download.